SUARA SEMARANG - Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, sebanyak 1.017.290 masyarakat Indonesia didiagnosis dengan penyakit jantung. Angka pasien yang menderita penyakit kardiovaskular ini terus meningkat setiap tahun.
Sebagai contoh, pasien hipertensi, yang diketahui merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular, meningkat dari 25,8% pada 2013 menjadi 34,1% pada 2018.
Dalam jangka panjang, hipertensi akan menyebabkan end organ damage dan berperan dalam peningkatan mortalitas, morbiditas, dan tingginya biaya perawatan kesehatan.
Untuk itu Guru besar Fakultas kesehatan Universitas Indonesia , Wawaimuli Arozal mengatakan pentingnya keilmuan Farmakologi, khususnya Basic Pharmacology, dalam penelitian terkait obat-obatan di bidang kardiovaskular.
Baca Juga:Pejabat dan ASN Dilarang Buka Puasa Bersama, Gubernur Sumbar: Perlu Pertimbangan Lagi!
“ Tanpa pengetahuan farmakologi yang baik, seorang dokter dapat menjadi sumber bencana bagi pasien karena tidak ada obat yang sepenuhnya aman,” ungkapnya dalam pidato pengukuhan berjudul “Farmakologi Dasar dalam Pendidikan dan Penelitian Kedokteran: Peran dan Tantangannya dalam Mengatasi Penyakit Kardiovaskular di Indonesia” baru – baru ini.
Wawaimuli menilai perlunya perkembangan keilmuan di bidang kedokteran yang cepat dalam mengatasi penyakit kardiovaskular, baik dalam diagnosis, pencegahan, maupun tata laksana yang komperhensif.
Terapi farmakologis (terapi menggunakan obat) pada penyakit kardiovaskular umumnya menjadi lini pertama dan selanjutnya sebagai kombinasi terhadap berbagai modalitas terapi lainnya.
“Pasien yang telah menjalani terapi definitif, baik tindakan perkutan atau operasi jantung dan pembuluh darah, sering kali harus minum obat yang sesuai dalam jangka waktu tertentu atau bahkan seumur hidup,” kata Wawaimuli
Baca Juga:4 Kontroversi Hendi Prio Santoso, Tunjuk Diri Jadi Komisaris BUMN Hingga Ogah Lapor LHKPN